Selasa, 17 Maret 2020

Waktu

Aku berlebihan. Ada saatnya kala itu aku begitu percaya denganmu, kala aku membagi seluruh ceritaku, membagi separuh belahan hatiku, membagi sebagian jiwaku untukmu. Kukira kamu akan menerimanya, namun sepertinya sekarang itu sudah layu dan usang.
Aku berlebihan. Aku begitu berharap aku dan kamu bisa terus bersama. Membagi tawa yang sama, membagi sedih yang mendera. Tetapi sepertinya hanya aku sendiri yang merasa seperti ini. 
Aku berlebihan. Aku terlalu menyukaimu. Menyukai seribu kegiatan yang kita lakukan bersama. Menyukai jutaan pelangi yang tercipta karena kehadiranmu. Menyukai suara tawamu yang mengembang kala aku sedang bercerita sesuatu menyenangkan, 
Aku berlebihan. Aku terlalu percaya waktu akan selalu bersahabat dengan kita. Aku terlalu percaya bahwa waktu menjadi tidak berguna untuk mengikis kebersamaan kita. Sayangnya, waktu mungkin terlalu sebal melihatku yang begitu berlebihan segala tentangmu. Hingga ia mulai berjalan lebih cepat, membuat kita hari demi hari semakin membangun banyak pagar penghambat.
Terkadang aku merasa diriku membenci waktu. Ia tidak pernah sama dengan apa yang kuharapkan. Kuharap dirinya berhenti, namun ia malah berlari secepat kuda. Kuharap dirinya berlari secepat yang ia bisa, namun ia malah berhenti. Bersantai melihatku menderita. 
Mungkin aku tidak membenci waktu. Aku lebih tidak menyukai diriku sendiri yang tidak bisa mendekatkan diri pada waktu. Terlalu lama singgah dalam imajinasi fana dalam pikiran kala sejuta kegiatan dapat ku lakukan. Terlalu lama bertahan dalam seribu rasa labil yang selalu berubah setiap saat kala waktu memberi kesempat. Saat waktu berpihak padaku, terkadang aku menyia-nyiakannya. Aku begitu banyakk terlena dalam keindahan semata, tak peduli pada waktu. 
Bodohnya diriku, kala waktu saat ini tak peduli padaku yang telah berkali-kali mengecewakannya, aku seolah murka pada waktu. Aku selalu memintanya berjalan mundur dan membiarkan aku kembali melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan sekarang denganmu. Namun di satu sisi, aku harusnya mengerti, memang beginilah adanya yang seharusnya terjadi. 
Mungkin kamu memang harus pergi, mungkin kamu memang harusnya tidak selalu bersamaku. Apapun kondisinya, antara aku dan kamu sekarang, seharusnya pertama-tama aku harus berterima kasih terlebih dahulu kepada waktu. Sejahat apapun waktu, ia pernah memberi kesempatan agar aku bisa singgah sebentar pada hidupmu, kisahmu. Ia pernah memberi kesempatan agar kita bersama, sepermainan meski aku merasa itu begitu singkat. 
Hanya saja, aku tidak terbiasa melihatmu dengan yang lain. Ingin mencegah namun waktu menghalangi. Aku tidak terbiasa nantinya harus jauh denganmu. Namun waktu terus melatihku agar aku bisa diam bungkam jika melihatmu dengan yang lain. 
Waktu pernah menjadikanku di tempat orang yang selalu bersamamu sekarang. Setidaknya, mengingat itu saja bisa membuatku bersyukur. Setidaknya kita pernah bersama. Aku hanya bisa bersyukur dan berharap agar nanti aku dan kamu bisa menjadi kita lagi. Memang aku harus apa lagi? mengharap waktu terus berjalan mundur dan selalu mengalah padaku pun tak bisa. Seandainya bisa, berarti aku egois. 
Terima kasih untukmu, terima kasih untuk waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sektet; Harapan

Dari sajak yang telah terlukis Kusisipkan setumpuk arti yang berlapis Pada jantung yang mendegup lasak Selarik cita telah terbawa oleh ha...